Rabu, 18 Januari 2012

Kisah Sejati

HUSHNUZON-KU DAN TAS MERAH ITU

(Kisahku di hari Kamis, 17 Mei 2007)



          Esok adalah hari reuni SMA & MA PPMI Assalaam Solo. Siang itu aku dan temanku sedang menunggu teman lainnya satu kampus di Stasiun Jakarta Kota. Sambil menunggu, kami membuka bungkusan nasi yang memang sengaja kami beli sebelum naik KRL. Kami buru-buru sampai tidak sempat makan karena kami harus duluan pergi ke stasiun agar tidak kehabisan tiket ke Solo keberangkatan pkl 18.00.

   
      “Ghozali, laper kan? Sambil nunggu yang lain, kita makan yuk!” tawarku sambil menuju tempat duduk yang memang disediakan bagi calon penumpang kereta, baik KRL (Kereta Rel Listrik) maupun kereta tujuan kota-kota di Jawa.

          “Tapi ga ada air, Zi.”

          “Tenang Ghoz, aku bawa kok.”

          “Mereka udah balez? Nyampe mana?” tanya Ghozali setelah kami berhasil mendapatkan bangku kosong sebelah bapak-bapak yang sepertinya juga sedang melakukan `penantian`.


          “Belum balez tuh,” jawabku setelah melirik HP Ghozali yang sejak turun kereta terus aku pegang untuk sms-an dengan teman-teman lulusan SMA & MA PPMI Assalaam Solo yang sekarang satu almamater lagi di kampus, IPB.

          “Mas, KRL yang barusan datang, dari Tanah Abang bukan ya?” tanya bapak-bapak yang terlihat ‘necis’ dengan kacamata, jas hitam, dan tas tebalnya menanyakan KRL yang baru saja merapat ke stasiun kepadaku, sesaat setelah kami selesai makan.

          “Kurang tahu lho, Pak” jawabku penuh santun. Posisi kami berjejer. Dari kanan-kiri adalah Bapak-bapak, saya, Ghozali.

          “Memang kenapa, Pak?” giliran Ghozali bertanya sambil melongokkan kepala ke depan karena memang terhalang badanku.

          “Saya lagi menunggu keponakan saya. Dia mau liburan ke Bogor. Sekarang saya lagi mau jemput, tapi kok udah berkali-kali kereta dari Tanah Abang datang, keponakan saya belum kelihatan juga ya… Saya khawatir, soalnya ini pertama kali dia ke Bogor.” Bapak-bapak tersebut mulai bercerita.

          “Coba ditelfon saja, Pak,” tawarku bersimpati.

          “Itu dia, Mas..HP saya mati, baterainya habis,” tambah bapak-bapak tersebut.

          “Wah susah juga ya, Pak,” tambah Ghozali mencoba meringankan kesusahan hati bapak-bapak berkacamata itu.

          “Zi, gimana kalau bapak-bapak itu kita pinjemin HP?” bisik Ghozali dari sebelah kiriku.

          “Ntar kalau temen-temen kita sms gimana?” ujarku realistis.

          Perasaanku ternyata tidak sependapat dengan ucapan yang baru saja ku lisankan. Dari dalam lubuk hati, aku merasa kasihan. Apalagi raut wajah bapak-bapak itu seolah menyiratkan keletihan dan kekhawatiran akibat penantian yang begitu lama.

          ‘Bukankah kamu juga ada HP? Pinjamin HP-mu saja, toh nganggur kan?` begitulah kira-kira suara hatiku saat itu. Benar juga, kenapa tidak terpikirkan ya. Aku kan juga pegang HP. Memang sejak sebelum naik KRL, HP-ku aku amankan dibagian tas gendongku yang paling dalam. Maklum, tingkat kriminalitas di dalam KRL yang cukup tinggi membuatku sedikit paranoid.

          “Bapak, silahkan pakai HP saya saja,” tawaraku setelah tanganku berhasil mendapatkan alat komunikasi yang perkembangannya sangat drastis itu sambil menyodorkannya ke arah bapak-bapak itu.

          “Wah, jadi merepotkan nih, Mas,” bapak-bapak itu merasa tidak enak.

          “Tidak apa-apa, Pak. Kasihan juga kan keponakan Bapak kalau ternyata sudah sampai di sini sejak tadi dan kebingungan karena HP Bapak tidak aktif,” ujarku mencoba meyakinkan bapak-bapak itu kalau aku tulus membantu sambil tetap menyodorkan HP-ku ke arahnya.

          “Kalau begitu terima kasih banyak ya, Mas. Saya pinjam HP-nya saja,” bapak-bapak itu berterima kasih sambil membuka tas bawaannya dan terlihat mengganti sim card didalamnya.

          “Ini kartu punya Mas..,” bapak-bapak itu menyodorkan sim card-ku kepada ku, “..HP-nya saya pinjam sebentar ya?” bapak-bapak itu masih merasa tidak enak.

          “Iya silahkan, Pak tidak apa-apa,” jawabku masih penuh santun.

           Bapak-bapak itu terlihat menulis sebuah nomor, kemudian..

          “Halo, De..Kamu di mana? Oh, sudah sampai?! Dari tadi? Iya, maaf HP paman mati, habis baterainya. Sekarang dimana? Dekat pintu gerbang? Yang sebelah mana? Oh, iya ya..Sebentar ya, tungggu paman di situ ya,” lalu bapak-bapak itu berdiri dan menoleh ke arahku dan Ghozali.

          “Benar, Mas..dia sudah sampai dari tadi. Sekarang saya harus ke pintu gerbang. HP-nya saya pinjam dulu ya, sekalian saya titip tas saya juga,” bapak-bapak itu meminta izin untuk membawa HP-ku agar keberadaan keponakannya cepat ditemukan dan meminta bantuan untuk menjaga tasnya.

          “Baik, Pak silahkan,” ujarku mempersilahkan.

          “Semoga cepat ketemu ya, Pak,” hibur Ghozali menyemangati bapak-bapak itu.



Setelah ± 10 menit…

            “Kok lama ya, Zi?” tanya Ghozali memecah keheningan sesaat.

            “Mungkin keponakannya emang belum ketemu kali, Ghoz. Stasiun ini kan luas,” ujarku mencoba meredam kecurigaan.



Setelah ± 10 menit lagi…

            “Zi, gimana?” tanya Ghozali dengan nada yang semakin curiga.

            “Tenang, Ghoz. Tasnya kan ada di sini,” ujarku yang sekali lagi meredam kecurigaan. Namun kali ini, perasaanku mulai resah. Jangan-jangan…



Setelah ± 10 menit lagi…

            “Zi, jangan-jangan…”

            “Jangan-jangan apa?” sela ku agar Ghozali tidak melanjutkan kalimatnya. Aku tahu lanjutan kalimat Ghozali. Tapi aku takut hushnuzon-ku tercemar jika kalimat itu terucap.

            “Coba deh, Zi lihat isi tasnya apa..” Ghozali menunjuk tas merah yang menggelembung sebelah kananku yang bisa aku raih tanpa bangun dari dudukku.

            “Banyak orang tahu, ntar dikira mau ngapain lagi...”

            “Ya udah, coba ditekan deh,” anjur Ghozali.

            Kali ini aku menurut, toh niatku juga hanya ingin memastikan bahwa hushnuzon-ku tidak salah alamat.

            “Baju tahu kayaknya,” ujarku setelah beberapa kali menekan-nekankan kelima jari kananku pada tas itu.

            “Coba, Zi ambilin. Biar aku yang buka.” Ghozali bersikukuh mau membuka tas itu.

            “Tapi, Ghoz..”

            “Udah, insya Allah tidak apa-apa,” Ghozali mencoba meyakinkanku.

            Aku ambil tas itu, lalu kuberikan pada Ghozali. Sesaat kemudian tangan Ghozali membuka tas itu....

            “Masya Allah, Zi,” ujar Ghozali sambil menoleh ke arahku.

            “Apa isinya?” kulongokkan kepalaku ke arah tas yang sekarang berada di pangkuan Ghozali. “Ya Allah, Ghoz. Gimana dong, Ghoz? Itu kan HP perdana ku dari hasil menabung hampir dua tahun,” ujarku lemas dengan perasaan yang sangat kacau.

Apa yang sebenarnya terjadi, baru benar-benar aku sadari saat Ghozali menceritakannya kembali dihadapan teman-temanku satu almamater SMA & MA PPMI Assalaam Solo di dalam kereta menuju Solo.

            Hal yang paling kuingat hingga saat ini: isi tas merah itu bukanlah baju, melainkan hanya plastik-plastik bekas. Ya, aku selalu ingat karena sampai saat ini tas merah itu masih ada padaku.





                                                                         di tulis di  Bogor, 4 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar